Corona dan Anadofatum minal Iman

Mesti penularannya sangat cepat dan mudah tersebar, kedatangan wabah Covid-19 atau yang familiar dikenal dengan virus Corona ke Indonesia mendapat tantangan budaya lokal yang ada di Indonesia.

Pasalnya, segala pantangan terkait penyebaran wabah itu ada di Indonesia. Di antaranya bersalaman yang bahkan cium tangan, kumpul-kumpul, dan mengusap wajah.

Jika mengaca pada budaya santri, cium tangannya lebih extreme karena harus mencium tangan kiai bolak-balik. Kumpul-kumpul pun sepertinya akan sulit dicegah karena Indonesia memiliki kebiasaan sukuran, selamatan, kenduri, ruwatan, dan lain-lain. Mengusap tangan pun, setiap selesai berdoa – bagi yang muslim – selalu dilakukan.

Ketika hajatnya terkabul, tak jarang sodara-sodara kita yang muslim juga mengucap hamdalah sambil mengusap wajah.
Hari ini, virus asing itu hadir dan ingin merusak semua kultur yang ada di Indonesia.

Semangat nasionalisme pun muncul dari masyarakat. Artinya, bangsa kita tak mau lagi berlama-lama dijajah lagi oleh pihak asing, baik berupa manusia ataupun virus.

Pilihannya, Indonesia harus bisa mengusir atau membunuh virus tersebut. Namun, dilakukan secara ilmiah, terukur, dan sesuai hasil uji coba dan penelitian.

Secara agamis, cara pencegahan penyebaran virus itu sudah tertuang. Bahkan, dalam Islam sudah jelas dan tegas harus selalu jaga kebersihan. Letak kebersihan pun prosentasenya adalah 50% dari keimanan.

Peristiwa Covid 19 kali ini seolah mengingatkan kita sedikit lebih tegas terkait menjaga kebersihan. Terutama, kebersihan untuk menjaga orang lain dari diri kita yang belum bersih. Artinya, kebersihan yang kita jaga bukan hanya untuk diri kita, tapi juga orang lain terutama keluarga.

Kembali lagi ke budaya, jika tidak ada vaksin, maka dikhawatirkan sedikit demi sedikit tapi pasti budaya salaman dan mencium tangan sebagai rasa hormat akan berkurang. Pilihannya tak bersalaman karena takut atau tetap bersalaman karena ingin mendapatkan berkah.

Jika di pondok pesantren salaf, saya pastikan para santri akan memilih tetap bersalaman, terutama ke para kiai atau guru ngajinya. Mereka lebih memilih mendapatkan berkah dengan bersalaman karena selain rasa hormat juga ada fadilah doa yang didapatkan.

Urusan Corona, sepertinya hanya bagian dari takdir yang pastinya diterima setiap manusia. Namun, tetap ada usaha untuk menjaga kebersihan karena menjaga kebersihan adalah sebagian dari Iman.
Kehadiran Corona juga mengingatkan kita untuk selalu menjaga diri dan lingkungan supaya bersih, terlebih juga indah. Karena Allah suka sesuatu yang bersih dan indah.

Kehadiran virus itu sebaiknya tak dianggap sebagai musibah atau azab yang berdampak pada anggapan dikuranginya sifat belas kasih Tuhan kepada manusia.

Lebih bijaksananya, kehadiran Covid 19 adalah sebuah pengingat bahwa sebagai umat manusia, terutama muslim lebih kuat lagi menjadikan ana dlofatum minal iman sebagai prinsip hidup yang kuat.

Selain itu, lebih menghargai makhluk Allah lainnya. Lebih tepatnya mengenai halal dan haram untuk dikonsumsi atau cukup dihargai keberadaannya karena bagian dari siklus alam.

Berbagai kejadian alam, yang dikatakan sebagai musibah sebenarnya memiliki hukum kausal. Artinya, alam memiliki kemampuan menyeimbangkan dirinya jika sudah rusak, atau dirusak.

Kembali lagi, budaya bersih jadi solusi bukan hanya mengatasi Corona. Tetapi juga segala sesuatu yang kotor yang pasti dibenci Tuhan.

Lockdown, social distancing, dan pembatasan sosial berskala besar hanya beberapa buah ikhtiar, jangan sampai mengalahkan ikhtiar berbudaya bersih.

Penulis adalah Direktur Unusida Press Universitas NU Sidoarjo

oleh A. A. Fahmi