Akademisi UNUSIDA Jelaskan Polemik Trans7 dan Pesantren: Itu Salah Kaprah Interpretasi Budaya
Kepala Divisi Sosial Budaya dan Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo (UNUSIDA), Muhammad Idham Kholiq, S.Sos., M.AP., memberikan penjelasan panjang lebar terkait polemik pemberitaan stasiun televisi Trans7 dengan masyarakat pesantren, khususnya keluarga besar Pondok Pesantren Lirboyo yang belakangan memicu perdebatan publik.
Menurut Idham, persoalan utama bukan sekadar soal liputan jurnalistik, melainkan interpretasi terhadap praktik budaya pesantren yang dinilai keliru. “Trans7 telah melakukan liputan jurnalistik, tetapi interpretasinya terhadap budaya pesantren tidak memahami makna yang diyakini komunitas pesantren itu sendiri,” kata Idham, dikutip dari video pernyataan melalui channel You Tube UNUSIDA TV, Jum’at (31/10/2025).
Idham mencontohkan sejumlah tradisi pesantren, seperti berjalan merendah di hadapan kyai, mencium tangan, atau tata krama lain yang diberi label sebagai bentuk feodalisme oleh pihak luar. Padahal, kata dia, tindakan itu merupakan adab dan bagian dari tata krama pencari ilmu (mutallim) yang memiliki makna internal bagi santri.
“Bagi santri, merendah di hadapan guru adalah adab menuntut ilmu, bukan relasi kelas aristokrat yang dimaksud feodalisme,” ujarnya.
Dalam analisisnya, Idham mengutip pendekatan Max Weber tentang Verstehen, prosedur pemahaman mendalam terhadap makna tindakan pelaku, sebagai metode yang semestinya dipakai oleh jurnalis dan peneliti ketika merekam budaya yang bukan berasal dari komunitasnya.
“Kalau ingin menulis atau meliput budaya pesantren, lakukanlah pendalaman sehingga makna yang disampaikan akurat dan tidak menimbulkan kesalahpahaman,” pesannya.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Sidoarjo itu juga menyoroti reaksi keras dari kalangan santri terhadap liputan yang dianggap menyinggung. Ia memahami reaksi sebagai respons wajar dari insider yang merasa nilai-nilainya diperlakukan keliru, namun ia mengimbau agar respons tersebut disalurkan secara konstruktif.
“Kita harus menerima kenyataan ada perbedaan perspektif. Lebih baik membuka dialog untuk menjelaskan makna tradisi kita daripada sekadar marah,” jelasnya.
Idham menekankan pentingnya membuka ruang komunikasi dan dialog antarpihak, baik antara pesantren dan media maupun masyarakat luas. Sebagai jalan meredam polemik. Dengan dialog yang beradab, menurutnya, publik akan lebih paham bahwa tradisi seperti mencium tangan kyai atau berjalan rendah bukanlah penindasan, melainkan bentuk penghormatan dan pola adab keilmuan.
Lebih lanjut, ia mengajak komunitas pesantren untuk aktif menjelaskan makna budaya mereka kepada masyarakat umum dan media. Ia mengimbau kepada insan media untuk menerapkan etika dan metode kajian budaya yang mendalam saat meliput komunitas tradisional. Sementara kepada kaum santri, ia mengajak bersikap inklusif dan berani berdialog supaya nilai-nilai pesantren dipahami secara tepat oleh publik yang lebih luas.
“Jangan sungkan menerangkan mengapa kita beradat demikian; bila orang tahu maknanya, insya Allah persepsi miring akan lurus,” pungkasnya. (MY)









